Let Me In

sobekan tiket bioskop tertanggal 5 November 2010 adalah Let Me In. Film ini adalah hasil remake dari film Swedia, Let The Right One In (2008), yang diangkat dari novel Swedia dengan judul yang sama. Gue yang sudah terlanjur jatuh cinta dengan film pertamanya, merasa malas untuk menonton film versi Hollywood-nya. Selain karena bosan dengan tingkah Hollywood yang selalu membuat remake film-film asing  dengan dalil "ingin membwa cerita ke audiens yang lebih luas", gue juga mencium bau komersialisasi. Tapi ya film tetaplah film, dan gue tetap penasaran dengan remake dari salah satu film favorit gue yang satu ini.

Owen, anak 12 tahun yang selalu dikerjai dan disiksa oleh tiga sekawan di sekolahnya, mendapat teman baru yang baru pindah ke apartemen di sebelah tempat tinggalnya. Owen pun berteman dengan Abby, yang juga berumur sekitar 12 tahun. Dinamika hubungan pertemanan mereka pun menjadi semakin menarik, dan menegangkan, seiring dengan terbukanya waktu dan terbukanya rahasia gelap dari Abby.

Dalam salah satu pemutaran perdananya, Mark Reeves sang sutradara mengakui bahwa ia juga bingung ketika diminta untuk membuat remake dari film orisinilnya yang sudah sangat bagus dan apik. Namun setelah membaca novelnya, Reeves pun merasa tertantang dan ingin memvisualisasikan perspektif pribadinya akan interpretasinya tentang kisah percintaan tak lazim antara dua anak kecil tersebut. Memang, setiap orang boleh memiliki perspektif masing-masing dalam interpretasinya terhadap suatu hal. Reeves, yang memulai debut sutradara film layar lebar lewat Cloverfield (2008), memiliki perspektifnya sendiri yang sedikit berbeda dengan film orisinilnya. Hal tersebut ia tunjukkan lewat beberapa detail yang berbeda dalam jalan cerita, yang menurut gue lebih memberikan kejelasan akan pertanyaan-pertanyaan yang muncul di kepala penonton sepanjang film. Lain halnya dengan Tomas Alfredson, yang menyutradarai film orisinilnya, yang cenderung menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut dengan hal yang lebih implisit dan mengarah kepada diskusi iseng setelah usai menonton filmnya.


Untuk gue yang sudah menonton film orisinilnya dua kali, sulit untuk tidak membandingkan kedua film ini. Apalagi gue sudah menurunkan ekspektasi gue serendah mungkin. Tapi apa daya, kemiripan dialog-dialog, adegan, dan pengambilan gambar membuat gue secara otomatis membandingkan ke film orisinilnya. Tampaknya memang kedua film ini cukup setia pada bukunya. Sayang, beberapa adegan "andalan" yang muncul di film ini tidak secantik dan seartistik dengan yang divisualisasikan di film orisinilnya. Selain itu, suasana dan atmosfir yang dibawa dalam film remake ini tidak sedingin dan semisterius film orisinilnya.
gambar diambil dari sini

Mungkin yang bertanggung jawab terhadap suasana dan atmosfir yang ada dalam film ini adalah pada scoringnya. Menurut gue, scoringnya kurang pas dengan setiap adegan yang ada dan rada kurang sopan dalam menyeret penonton ke dalam atmosfir dingin dan misterius a la Abby. Padahal yang meramu score pada film ini adalah nama yang telah menggondol piala Oscar lewat Up (2009), Michael Giacchino.
gambar diambil dari sini

Kodi-Smith McPhee yang pernah bermain dengan baik bersama Viggo Mortensen dalam The Road (2009), tampil meyakinkan sebagai Owen yang tertekan oleh keadaan di sekolah dan di rumah, mencoba melampiaskannya lewat pisaunya, dan sangat ingin memiliki teman. Chloe Moretz yang mulai bersinar sejak Kick-Ass (2010), sekali lagi memerankan karakter yang "haus darah". Kalau dipikir-pikir, Moretz yang baru berumur 13 tahun udah jadi langganan memerankan karakter macho, pemberani, dan mampu keluar dari norma-norma perempuan yang ada. Tapi sayang di film ini, menurut gue dia terlalu manis dan cantik untuk menjadi seorang vampir yang sering kali kelaparan (atau kehausan?) akan darah. Atau memang itu maksud dari pembuat film ya, untuk membuat kontras antara manis dan keluguannya dengan kekuatan di luar batas normal yang mengerikan yang dimiliki oleh Abby. Tapi entah kenapa gue engga merasakan chemistry yang terjadi di antara Moretz dan McPhee lewat kedua karakter mereka. Berasa ada yang kurang aja gitu. Gue masih lebih suka dengan aktingnya Kåre Hedebrant dan Lina Leandersson serta chemistry yang terjadi di antara mereka berdua di film orisinilnya (tuh kan ngebandingin lagi! ;p).
gambar diambil dari sini
Overall, menuru gue perbedaan mencolok dari kedua film ini adalah; ketika film orisinilnya ingin menitikberatkan pada suasana ambigu dan absurditas yang ditampilkan oleh adegan dan setiap karakter terutama Eli (atau Abby di versi remake), versi remake ini tampak ingin menunjukkan sisi horor dan betapa mengerikannya apa yang bisa diperbuat oleh Abby.

Jujur, setelah nonton film ini gue jadi merasa sayang bagi mereka yang belum sempat nonton film orisinilnya tapi udah keburu nonton versi remake-nya. Meskipun gue sadar betul, bahwa ulasan gue ini mungkin akan berbeda kalau gue belum menonton film orisinilnya.

Rating?
6,5 dari 10

Komentar