Somewhere

Sobekan tiket bioskop tertanggal 11 Desember 2010 adalah Somewhere. Ada beberapa hal spesial yang membuat gue engga sabar untuk menonton film ini di hari pertama rilisnya. Pertama adalah reuni gue dengan Sofia Coppola, yang rasanya beliau cenderung membuat film dengan jangka waktu 3-4 tahun diantara setiap film-filmnya. Kedua, bagaimana scoring film ini akan diisi oleh band Phoenix yang udah gue ketahui reputasinya sebelum ini. Dan terakhir, kesempatan untuk melihat akting dari anak berbakat yang baru berusia 12 tahun, Elle Faning, yang tidak lain adalah adik dari Dakota Fanning.

Seorang aktor Hollywood yang sukses, Johnny Marco, tinggal untuk beberapa lama di sebuah hotel yang biasa ditinggali oleh orang-orang terkenal, Chateau Marmont di Los Angeles. Johnny mengisi kebosanannya diantara pekerjaannya dengan minum-minum, pesta-pesta, dan wanita yang berganti-ganti setiap malam. Suatu saat istrinya datang untuk menitipkan putrinya yang berumur 11 tahun, Cleo. Kehadiran putrinya yang tidak disangka-sangka di dalam kehidupannya, Johnny pun harus mulai menentukan arah hidupnya.

Seperti ketiga filmnya terdahulu, Coppola kembali mengangkat tema langganan dan favoritnya; keterisolasian, keterasingan, dan kekosongan dalam hidup. Ccerita kali ini kembali seputar tentang aktor terkenal, tidak seperti Bob Harris yang "terdampar" di Tokyo, namun seorang aktor di negaranya sendiri dan dengan berbagai kebiasaan orang-orang terkenal di Hollywood. Kalau di Lost in Translation, Coppola menggambarkan interaksi antar-karakter yang cenderung awkward dengan perbedaan umur yang jauh, pada film ini Coppola menggunakan formula yang sama hanya lebih tegas dan jelas pada hubungan antar kedua karakter; ayah dan anak.

Sekali lagi, Coppola kembali menggambarkan hotel sebagai simbol dari keterasingan dalam hidup. Hotel yang tadinya ditujukan sebagai tempat pelarian, yang kemudian terpaksa digunakan sebagai tempat dimana si karakter utama harus membangun relasi dengan karakter kedua. Dimana film ini menitikberatkan bagaimana Johnny yang berusaha membangun relasi kembali dengan Cleo, di tengah-tengah kehidupan glamornya dan kebiasaan meniduri wanita-wanita yang berbeda. Salah satu hal yang menarik yang gue temukan di internet adalah ternyata Coppola menulis cerita ini sebagai ekstensi dan dramatisasi berdasarkan hubungan antara dia dan ayahnya, Francis Ford Coppola, semasa kecilnya. Bagaimana dulu ayahnya cenderung memilih tinggal sementara di hotel untuk menulis naskah (mungkin sedang menulis The Godfather mungkin ya? ;p) untuk menjauhi distraksi-distraksi yang ada kalau berada di rumah, dan tidak jarang membawa Sofia kecil bersamanya.

Sentuhan-sentuhan Sofia Coppola dalam membuat film "sepi" dan awkward pun tidak serta-merta hilang begitu saja. Malah menurut gue, di film ini Coppola terlihat sangat bebas dalam bereksplorasi dan berani untuk  menampilkan adegan-adegan yang benar-benar sepi, tanpa dialog sama sekali - yang walaupun ada dua karakter yang terlibat namun akan terasa canggung. Coppola pun cukup konsisten dalam menampilkan adegan-adegan tersebut, dari opening scene sampai ending scene. Luar biasanya, seperti film-filmnya terdahulu, adegan-adegan sepi tersebut sangat berpengaruh pada perkembangan karakter di sepanjang jalan cerita. Ya, untuk mengetahui kedalaman suatu karakter memang tidak melulu dengan dialog saja, bahkan dengan aktivitas-aktivitas yang bagi kita kurang penting sekalipun ternyata bisa menggambarkan kedalaman karakter tersebut. Menurut gue, film plotless yang dipenuhi oleh berbagai macam adegan random, bagi gue serasa membaca scrapbook yang dijadikan dalam bentuk audio-visual namun dikemas secara indah dan artistik.
gambar diambil dari sini
Ketika diatas gue bilang film ini cukup sepi, maksud gue adalah benar-benar sepi. Mungkin lebih sepi daripada Lost in Translation (yang ketika nonton pertama kali, gue harus berkali-kali menahan kantuk). Dialog-dialog yang ada benar-benar sedikit, sekalinya ada dialog pun bukan sebuah dialog yang berperan membangun jalan cerita. Muncul beberapa dialog yang signifikan terhadap tema, namun hanya beberapa kalimat saja. Benar-benar sulit untuk memahami apa yang ada di dalam pikiran seorang Johnny Marco, mungkin lebih sulit daripada memahami pikiran Bob Harris dan Charlotte. Ekspresi, pandangan mata, gerak tubuh, benar-benar dibuat kosong dan ambigu. Poin gue disini bukan pada akting Stephen Dorff, tapi gue percaya bahwa memang itu yang ingin ditampilkan oleh Coppola. Selain itu, sepinya film ini diperkuat dengan jarangnya score yang mengisi setiap adegan. Phoenix ternyata hanya memainkan beberapa lagu saja, dan sisa lagu-lagu yang muncul adalah yang memang dipakai dalam adegan tersebut.
gambar diambil dari sini
Gue sangat menikmati permainan dan chemistry yang terjadi antara Stephen Dorff dan Elle Fanning. Walaupun kedua karakter mereka terlibat hubungan ayah-anak yang rasanya "terpaksa" untuk berhubungan kembali setelah terpisah dalam jangka waktu lama, namun interaksi antara keduanya dalam setiap adegan benar-benar manis. Terlihat sebenarnya bagaimana masing-masing dari mereka merindukan suatu hubungan yang "normal" namun situasi dan kondisi yang menjadi kendala. Tidak saja bagaimana Johnny mencoba mengejar ketertinggalannya akan apa yang terjadi pada Cleo pada beberapa tahun terakhir, bagaimana mereka bermain Wii bersama, bagaimana mereka berenang dan tidur bersama, namun juga pandangan mata penuh makna antara mereka ketika Cleo menyadari kehadiran wanita asing bersama mereka di meja sarapan mereka. Kekuatan karakter dari Cleo pun mencapai puncaknya ketika gue benar-benar hanyut di salah satu adegan dimana Cleo (akhirnya) mengekspresikan perasaannya.

Realistik. Itu salah satu kata yang muncul dalam kepala gue untuk menggambarkan film ini dalam beberapa kata. Selain karena setiap lokasi disyuting di tempat aslinya, tidak ada pula dramatisasi yang berlebihan pada setiap adegan. Mungkin untuk alasan realistik itu juga kenapa Coppola memilih Dorff sebagai karakter utamanya, dimana di Public Enemies pun gue engga menyadari kehadiran Stephen Dorff sebagai salah satu castnya. Ini yang terjadi pada gue ketika nonton London Boulevard dimana Keira Knightley memerankan seorang artis Inggris yang dikejar-kejar paparazzi, sepanjang film sulit bagi gue untuk mendalami karakter yang diperankannya karena bias oleh image yang sudah gue miliki tentang dia. Sedangkan Dorff yang sebelumnya gue sama sekali belum pernah tahu dan lihat, cukup enak untuk mendalami dari nol.
gambar diambil dari sini
Oya, gue tidak menjamin akan adanya kepuasan berarti pada akhir film (meskipun definisi kepuasan pada setiap penonton berbeda-beda). Film ini berakhir.....begitu saja dan penonton akan memohon untuk mengetahui apa yang terjadi pada proses pikiran Johnny Marco. Walaupun ending scene ini bisa melahirkan diskusi lanjutan berdasarkan berbagai simbol yang ada pada opening scene dan ending scene, tapi menurut gue ending scene ini cukup memiliki keterkaitan tersendiri pada judulnya. Ya, silahkan nonton sendiri filmnya dan pilihlah interpretasi yang anda inginkan (atau yang sesuai dengan keadaan anda saat sedang menonton film tersebut ;p).

Film yang baru saja memenangi Golden Lion, penghargaan tertinggi di Venice Film Festival, ini rasanya tidak berlebihan kalau gue jagokan untuk beraksi di ajang Academy Awards. Minimal di nominasi Best Original Screenplay untuk Sofia Coppola (walaupun rasanya harus senggol-senggolan dengan Christopher Nolan dengan Inception-nya) yang memang menulis sendiri cerita ini.

Film plotless yang sepi dan cenderung awkward namun memiliki nilai realistis yang tinggi, yang dibungkus secara manis dan artistik ini mungkin akan membawa pengertian yang berbeda jika ditonton lagi beberapa tahun mendatang. Walaupun sulit untuk tidak merasakan jatuh cinta pada tontonan pertama terhadap film ini.



Sit me down,
Shut me up,
i'll calm down,
and i'll get along with you,

The Strokes - I'll Try Anything Once
Rating?
9,5 of 10

Komentar

  1. mau nanya, klo formula yang di gunakan untuk menghitung rating di sini rumusnya seperti apa ya.

    BalasHapus

Posting Komentar