The Way Back

Sobekan tiket bioskop tertanggal 15 Januari 2011 adalah The Way Back. Ada beberapa hal yang membuat gue sangat tertarik untuk menonton film ini. Pertama, film ini disutradarai oleh Peter Weir setelah absen selama 7 tahun semenjak Master and Commander: The Far Side of the World (2003). Film-filmnya Peter Weir selalu menyentuh sisi kemanusiaan dengan cara yang berbeda, tentunya kita masih ingat spektakulernya The Truman Show (1998) atau kisah para pelajar yang mencintai puisi di Dead Poets Society (1989). Apalagi film terbarunya ini mengangkat cerita epik yang menurut gue sangat menarik untuk disimak. Terakhir, gue selalu menikmati film-film yang dibintangi oleh Jim Sturgess, setidaknya setelah dia tampil brilian di Across the Universe (2007).

Tahun 1940 dimana Uni Soviet masih berkuasa di sebagian Eropa, sekelompok tahanan yang berasal dari Polandia, AS, bahkan Rusia sendiri mencoba melarikan diri dari Rusia. Sadar bahwa mereka tidak bisa tinggal di daerah komunis, maka mereka harus berjalan kaki sejauh 6500 kilometer melewati dataran Rusia yang dingin, gurun Gobi yang panas, sampai menyeberangi pegunungan Himalaya untuk mencapai India.

Indonesia memiliki seorang musafir yang mengelilingi berbagai negara di Asia Tengah dan sampat saat ini masih melakukan perjalanannnya dengan jalan darat, Agustinus Wibowo. Agustinus melakukan perjalanannya bukan sebagai hobi melainkan sebagai nafas hidupnya. Sementara ketujuh tahanan Gulag di Rusia ini melakukan perjalanannya untuk mencapai kebebasan. Pilihan mereka hanya ada dua; mati di gulag sebagai tahanan atau mati di perjalanan sebagai manusia bebas. Cerita ini diadaptasi dari novel keluaran 1956 berjudul The Long Walk, yang sampai detik ini kebenaran bahwa cerita tersebut adalah kisah nyata masih diperdebatkan (bisa dibaca disini).

Terlepas dari bagaimana keaslian cerita tersebut, perjalanan para manusia-manusia bebas ini sangat menarik untuk disimak. Bagaimana mereka bertahan hidup di alam; hampir mati kedinginan di tengah badai salju di Rusia, hampir mati kepanasan dan kehausan di Gurun Gobi, hampir mati kelaparan di Mongolia, dan sebagainya. Menarik juga melihat motivasi tinggi yang mereka punya untuk bisa mencapai tujuannya walaupun tempat tujuan yang jelas; yang jelas mereka ingin keluar dari negara komunis dan hidup di negara bebas, dimanapun itu berada.
Jalan kaki dari titik A ke titik B
Penggambaran Peter Weir akan setiap tempat yang mereka lewati dengan langkah-langkah kaki mereka pun menghipnotis penonton untuk menanti-nanti apa yang akan terjadi di depan nanti. Pengambilan gambar akan setiap karakteristik tempat yang dilewati oleh mereka pun ditangkap dengan baik di layar lebar; hutan bersalju, daerah pinggir danau yang banyak nyamuk, gurun pasir yang kering, bahkan pegunungan di Lhasa sampai Himalaya. Mengejutkan untuk melihat bagaimana usaha manusia untuk dapat memenuhi kebutuhan makan dan minumnya; benar-benar apa saja yang mereka temui - asal benda tersebut bisa dimakan dan diminum, mereka akan memakan dan meminumnya; cacing, air tanah yang kotor, pohon jenis tertentu, sampai harus berebut daging binatang dari para serigala.

Film dengan premis cerita survival seperti ini memang mengandalkan kedalaman karakter yang ada di kelompok survival tersebut. Variasi karakter yang ada dalam film ini pun seakan saling melengkapi satu sama lain. "Dipimpin" oleh seorang prajurit Polandia yang bisa membaca arah - Janusz (Jim Sturgess), ditemani oleh seorang Amerika - Mr. Smith (Ed Harris), dilindungi oleh seorang kriminal Rusia yang selalu membawa pisau - Valka (diperankan dengan baik oleh Colin Farell), ditambah seorang pelawak, seorang pelukis, dan seorang juru masak. Belum lagi ketika seorang gadis Polandia yang juga dalam pelarian (diperankan dengan aksen Polandia yang mulus oleh Saorsie Ronan), yang memberikan warna tersendiri dan menambah menarik jalannya cerita yang ada. Menarik melihat aktor-aktor Inggris dan Amerika ini ketika mereka harus beraksen Eropa Timur, terlihat bagaimana kerja keras mereka untuk menghilangkan aksen asli mereka demi mendapatkan aksen karakter yang harus mereka perankan.
gambar diambil dari sini
Namun ada beberapa hal yang kurang sreg yang gue temukan pada cerita ini. Kelompok yang baru saja bertemu di kamp tahanan harus berjalan dan bertahan hidup bersama selama berbulan-bulan, jarang sekali ada konflik yang hinggap diantara mereka. Entah mungkin karena gue masih menganggap bahwa konflik karena hal-hal kecil (misalnya pembagian air minum seperti di Flight of the Phoenix) sangat mungkin terjadi dalam suatu kelompok jika dihadapkan pada situasi ekstrim seperti itu. Selain itu, sayang sekali karena film ini seakan terburu-buru untuk menyelesaikan filmnya dengan durasi yang pendek selama mereka melewati Pegunungan Himalaya - yang padahal merupakan hal yang mereka takuti sejak awal. Ya wajar saja sih karena durasi film ini sudah mencapai 133 menit ketika mereka mencapai India.

Dengan pemandangan alam berbeda-beda setiap 30 menit yang indah sekaligus kejam, interaksi antar karakter yang menarik, sedikit pengetahuan budaya tentang Eropa Timur lewat para karakternya, dan usaha hidup-mati mereka untuk tetap bertahan hidup dan meraih kebebasan, membuat film epik drama-petualangan ini akan sangat sayang jika dilewatkan.



Rating?
8,5 dari 10

Komentar

  1. Baruu aja bertanya2 filmnya oke apa ga, eh lo post review ini d twitter. Gw akhrnya nntn burlesque dl hmmm akan gw tntn jg deh thw way back ini klo gt

    BalasHapus

Posting Komentar