What They Don't Talk About When They Talk About Love



"Film sederhana yang jujur dan manis tentang bagaimana remaja-remaja tuna netra dan tuna rungu saling berinteraksi satu dengan yang lain, untuk kemudian jatuh cinta"

Di sebuah Sekolah Luar Biasa untuk tuna netra di Jakarta, terdapat potret beberapa remaja berkebutuhan khusus yang menjalani kehidupannya layaknya remaja-remaja pada umumnya; belajar di sekolah, jajan di warung, dan jatuh cinta. Diana, salah satu siswi yang berasal dari keluarga berada sedang menunggu saat-saat dimana dia menjadi wanita dewasa, untuk kemudian jatuh cinta pada seorang siswa. Fitri yang berparas cantik menjalani kehidupan cintanya dengan hantu dokter yang dia percaya selalu hadir setiap malam di kolam renang sekolah. Kemudian ada seorang remaja yang berdandan ala punk-rock yang menyamar menjadi si hantu dokter demi menjalin asmara dengan Fitri. Remaja-remaja ini berusaha menemukan cara, dan kemudian berkolaborasi, untuk berkomunikasi dan bersentuhan dengan sesama mereka dan juga di luar dunia mereka.

Film kedua dari sutradara dan penulis naskah Mouly Surya (Fiksi, 2008) ini adalah sebuah film sederhana yang memberi gambaran tentang dunia yang selama ini tidak pernah tersorot. Dunia orang-orang berkebutuhan khusus yang menggambarkan bagaimana selama ini mereka "bertahan hidup" dengan keterbatasan fisik mereka. Lewat film ini, Mouly mengajak para penontonnya untuk memandang dunia lewat kacamata Diana, Fitri, dan si remaja punk-rock (yang gue sengaja sembunyikan namanya demi keasyikan menonton film ini ;p). Bagaimana Diana yang memiliki pandangan mata terbatas ketika dia mempersiapkan pembalut wanitanya ketika masa datang bulan tiba. Bagaimana Andhika yang tuna netra berjalan kesana kemari dalam area sekolah. Bagaimana Fitri "membaca" SMS dari ibunya. Lebih jauh lagi, Mouly membawa penontonnya untuk mencicipi bagaimana rasanya memandang dunia di balik kacamata tuna rungu ketika memperhatikan seorang gadis yang sedang bernyanyi.



Ketika usainya tur dari Mouly untuk memperkenalkan para karakternya, penonton akan disuguhi bagaimana para karakter ini saling berinteraksi, baik sesama remaja berkebutuhan khusus atau dengan orang lain. Lebih jauh lagi, film ini memperlihatkan bagaimana ketika mereka jatuh cinta dengan yang lain, yang tentu dengan cara mereka sendiri. Bagian interaksi - dan jatuh cinta - ini yang justru sangat menarik, yang terlihat jelas bahwa hal ini menjadi nyawa dan roda penggerak dalam film ini. Menarik pula bahwa ternyata ide cerita film ini muncul ketika Mouly bertemu dengan saudaranya yang tuna netra yang sedang asyik update status Facebook lewat ponselnya.

Bagaimana ketika seorang tuna netra jatuh cinta kepada tuna netra lain? Bagaimana menarik perhatiannya? Atau bagaimana cara mengungkapkan ketertarikannya? Paras cantik atau bermuka ganteng pun menjadi salah satu hal yang layak dicoret dari daftar kriteria, yang hanya menyisakan beberapa hal lain yang signifikan bagi hubungan mereka berdua. Lalu bagaimana jika seorang tuna rungu dan seorang tuna netra saling tertarik satu dengan yang lain? Bagaimana cara mereka untuk berkomunikasi satu dengan yang lain, ketika yang satu tidak dapat melihat dan yang satu tidak dapat berbicara dan mendengar? Hal-hal ini yang dieksplorasi dengan indah, artistik, dan menyentuh oleh Mouly Surya dalam durasi 104 menit yang jauh dari membosankan. Pada beberapa adegan, eksplorasi ini membawa penonton untuk sejenak keluar dari batasan-batasan wajar yang ada, untuk kemudian menikmati dunia penuh dengan imajinasi yang ada dalam benak orang-orang berkebutuhan khususnya.


Kekuatan dari masing-masing karakter dalam film ini pun muncul dengan sendirinya ketika para pemeran berhasil berakting dengan sangat meyakinkan. Ketika Karina Salim mendekatkan barang belanjaan tepat di depan matanya untuk membaca merek, gerakan tangan Ayusitha untuk berjalan kembali ke kamarnya, atau bagaimana Nicholas Saputra berusaha berbicara kepada kasir minimarket untuk membeli rokok, pada momen-momen itulah kekuatan karakter mereka begitu terasa di layar. Dua jempol untuk akting para pemerannya yang dengan detil dan seksama menghidupkan peran orang-orang berkebutuhan khusus dengan sangat natural dan tidak dibuat-buat.

Film Yang Tidak Dibicarakan Ketika Membicarakan Cinta adalah sebuah film drama yang diceritakan dengan balutan visual yang indah dan artistik, sebagai sebuah potret sederhana dan jujur tentang orang-orang yang berkebutuhan khusus saling berinteraksi satu dengan yang lain. Sayang seribu sayang, film ini hanya tayang terbatas di empat bioskop di Jakarta. Padahal film ini adalah film Indonesia pertama yang berkompetisi di Sundance Film Festival dalam kategori World Cinema - Dramatic.



Indonesia | 2013 | Drama / Romance | 104 menit | Aspect Ratio 2.35 : 1

Won for Netpac Award, Rotterdam International Film Festival, 2013.
Nominated for World Cinema - Dramatic, Sundance Film Festival, 2013.

Rating?
9 dari 10

- sobekan tiket bioskop tertanggal 3 Mei 2013 -

Komentar

Posting Komentar