Maggie

"Drama arthouse tentang seorang ayah yang melindungi anaknya yang akan berubah menjadi zombie"

Setelah dua minggu mencari putrinya, Wade menemukan Maggie di karantina di sebuah rumah sakit. Maggie telah terkena virus mematikan yang akan mengubahnya menjadi zombie dalam beberapa hari. Maggie dilepaskan oleh dokter yang merupakan teman Wade, agar ia dapat menghabiskan waktu-waktu terakhirnya bersama Maggie. Namun dengan satu syarat bahwa Wade harus mengembalikan Maggie ke karantina ketika waktunya tiba. 

Kita telah melihat berbagai pendekatan dalam genre zombies. Mulai dari genre horror seperti Night of the Living Dead (1968), genre action dalam World War Z (2013), genre komedi dalam Zombieland (2009), hingga romantic comedy dalam Warm Bodies (2013). Namun rasanya memang belum ada pendekatan yang fokus pada keluarga korban dan dengan arthouse drama treatment. Disinilah dimana Maggie menonjol dan menjadi unik.



Sepintas, kombinasi antara Arnold Schwarzenegger dan zombie akan tampak sebagai film aksi dengan peran pahlawan yang tipikal. Namun ternyata memang si bapak gubernur ini sedang mencoba sesuatu yang baru dalam karirnya, mungkin sebagai exit strategy ketika ia sudah terlalu uzur untuk berperan dalam adegan penuh aksi. Hasil dari eksperimen perannya ini memang tidak jelek, tetapi juga tidak terlalu bagus. Arnold sudah unggul dalam hal modal kebapakan, tetapi penyampaian setiap dialog dan emosi dalam diam yang terkadang masih multi-interpretatif.

Yes, jangan harapkan ada adegan aksi yang menegangkan dalam Maggie. Camkan, ini adalah film slow-burn drama yang minim dialog dan menekankan pada kepekaan penonton untuk membaca situasi dan emosi yang dialami oleh setiap karakternya tanpa dialog sekalipun. Lamban, sunyi, dan cenderung depresif mengingat bagaimana kita akan mengikuti pergulatan keluarga Maggie yang seakan menghabiskan waktu terakhir bersama anak sulungnya. Belum lagi penderitaan yang dialami oleh Maggie, baik secara fisik maupun psikologis.


Sayang sekali, tema yang sangat menarik ini cukup lemah dalam naskah dan juga eksekusi pada layar. Ide yang menarik tidak ditunjang dengan pengembangan cerita yang baik. Alhasil, jalan cerita menjadi melebar kemana-mana tanpa mampu fokus pada jalan cerita utama. Awalnya film ini terkesan fokus pada pergulatan Wade sebagai seorang ayah yang menemukan waktu hidup anaknya hanya hitungan hari. Kemudian fokus berpindah pada kegamangan Maggie dalam menjalani sisa hidupnya. Selain itu, kondisi psikologis dari setiap karakter juga tidak digambarkan dengan baik, yang sulit untuk menjadikan film ini sebagai sebuah studi karakter. 

Pada akhirnya, gue cukup jatuh cinta pada pendekatan yang diambil dalam film zombie ini. Sebuah pendekatan yang menarik, yang dibungkus dalam balutan arthouse yang kelam. Tone warna film yang suram juga menambah kesan hopelessness yang dihadapi oleh setiap karakter dalam film ini. Sebuah kisah thoughtful yang akan membuat penonton berpikir berkali-kali, apa yang harus dilakukan ketika dihadapkan pada situasi yang sama.



USA | 2015 | Arthouse / Drama / Zombies | 95 mins | Scope Aspect Ratio 2.35 : 1

Rating?
7 dari 10

- sobekan tiket bioskop tanggal 29 Juli 2015 -

Komentar